Seorang dosen memberi tambahan tugas ke mahasiswanya setiap dua kali seminggu, pengumpulan tugas diunggah lewat aplikasi LMS atau disematkan di surat elektronik. Dosen selanjutnya lebih gampang dalam memeriksa tugas, tidak kudu mempunyai kertas berlembar di dalam tas sepanjang hari, lantas menumpuknya di daerah kerja atau di rumah.
Sebut saja dia pak A, mengajar di fakultas AZ. Dia tinggal tidak jauh berasal dari kampus, sehari-hari dia menggunakan sepeda menuju ke kampus. Katanya sekaligus berolahraga dan termasuk menghemat uang bensin.
Seorang mahasiswa senantiasa mempunyai botol isi lagi selagi ke kampus untuk menghemat uang jajan sepanjang berkuliah. Dia telah menghitung mampu menghemat Rp 60.000 setiap bulan bersama dengan tidak belanja 1 botol air mineral seharga Rp 3.000 setiap harinya di kampus.
Ada satu mahasiswa lagi yang puas mempunyai kotak kemasan untuk digunakan selagi berbelanja pentol, gorengan, atau makanan lain yang kebanyakan menggunakan plastik kemasan selagi dibeli. Sayang saja belanja dua ribuan makanan menggunakan kemasan plastik yang memerlukan selagi lama untuk terurai.
Cerita di atas, sekilas layaknya sebuah keputusan personal seorang dosen atau mahasiswa untuk memberi tambahan kemudahan terhadap diri sendiri, terkesan untuk kepentingan pribadi. Nyatanya keempat cerita di atas, setitik demi setitik mampu menjadi jembatan tercapainya tidak benar satu atau beberapa obyek pembangunan berkesinambungan yang menjadi kesepakatan bersama dengan oleh beberapa negara di dunia.
Tujuan pembangunan berkesinambungan atau secara global dikenal sebagai Sustainable Development Goals (SDGs) merupakan upaya pembangunan yang ditujukan untuk menambah kesejahteraan ekonomi masyarakat secara persisten, merawat keberlanjutan kehidupan sosial masyarakat, bersama dengan senantiasa merawat kualitas lingkungan hidup dan menegaskan ada keadilan dan tata kelola yang baik untuk merawat peningkatan kualitas hidup masyarakat berasal dari generasi ke generasi. Agenda pembangunan yang disepakati secara global di sidang lazim PBB terhadap September 2015 ini menjadi upaya untuk menegaskan tercapainya beberapa agenda MDGs (agenda pendahulu) yang belum mampu diselesaikan sampai th. 2015.
SDGs sebagai penyempurna MDGs karena (1) jauh lebih komprehensif bersama dengan melibatkalebih banyak negara, baik itu negara maju maupun negara berkembang; (2) menggunakan sumber pendanaan yang lebih luas bersama dengan pelibatan multi pihak, baik berasal dari pemerintah maupun swasta; (3) menjunjung tinggi hak asasi manusia, sehingga dalam menangani kemiskinan tidak satu pun pihak mengalami diskriminasi berasal dari dimensi mana pun; (4) inklusif yang tandanya no one left behind untuk menegaskan semua grup rentan dilibatkan; (5) pelibatan semua pemangku kepentingan mulai berasal dari pemerintah, filantropi, pelaku usaha, LSM, akademisi, dan media; (6) obyek zero goals untuk semua obyek SDGs; dan (7) tidak hanya berisi tujuan, SDGS termasuk menentukan fasilitas pelaksanaan (means of implementation).
Terdapat 17 obyek yang menjadi komitmen bersama dengan untuk menyejahterakan masyarakat secara global di th. 2030 nanti, yakni (1) Tanpa Kemiskinan; (2) Tanpa Kelaparan; (3) Kehidupan Sehat dan Sejahtera; (4) Pendidikan Berkualitas; (5) Kesetaraan Gender; (6) Air Bersih dan Sanitasi Layak; (7) Energi Bersih dan Terjangkau; (8) Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan Ekonomi; (9) Industri, Inovasi dan Infrastruktur; (10) Berkurangnya Kesenjangan; (11) Kota dan Permukiman yang Berkelanjutan; (12) Konsumsi dan Produksi yang Bertanggung Jawab; (13) Penanganan Perubahan Iklim; (14) Ekosistem Lautan; (15) Ekosistem Daratan; (16) Perdamaian, Keadilan dan Kelembagaan yang Tangguh; (17) Kemitraan untuk Mencapai Tujuan. Demi kemudahan dalam pelaksanaan dan pemantauan, maka 17 obyek di atas bersama dengan penjabaran 169 obyek dikelompokkan lagi dalam empat pilar, yakni pilar pembangunan sosial (meliputi obyek 1, 2, 3, 4, dan 5); pilar pembangunan ekonomi (meliputi obyek 7, 8, 9, 10, dan 17); pilar pembangunan lingkungan (meliputi obyek 6, 11, 12, 13, 14, dan 15); serta pilar pembangunan hukum dan tata kelola (meliputi obyek 16). Perlu dipertegas bahwa keempat pilar selanjutnya tidak dijalankan sendiri-sendiri, melainkan saling perihal dan menopang satu serupa lain.
Indonesia sebagai tidak benar satu negara yang ikut serta mendeklarasikan SDGs sertakan SDGs dalam Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional sebagai isu strategis yang kudu segera dituntaskan. Tidak hanya di tingkat nasional, pemerintah daerah bersama dengan bekerja serupa bersama dengan pemangku pihak lainnya ikut serta mengambil alih andil untuk tercapat obyek pembangunan berkesinambungan secara merata sampai pelosok tanah air.
Kenyataannya 17 obyek ini terkesan ambisius dan untuk Indonesia kudu dicapai dalam selagi yang tidak lagi panjang. Olehnya itu, bersama dengan selagi dan sumber daya yang terbatas dibutuhkan penentuan prioritas obyek dan target, serta menegaskan semua pihak terlibat. Pertanyaannya sekarang, apakah hanya program besar bersama dengan skala wilayah luas yang mampu dijalankan untuk raih SDGs? Apakah hanya pihak pemerintah, perusahaan swasta, filantropi besar atau LSM saja yang mampu ikut andil dalam pencapaian SDGs di Indonesia atau di skala lokal?
Jawaban berasal dari ke dua pertanyaan selanjutnya adalah tidak. Tidak kudu program besar bersama dengan skala luas atau pihak bersama dengan pendanaan banyak serta memiliki kapasitas dan kemampuan besar yang mampu menyukseskan tercapainya SDGs di Indonesia. Hal-hal kecil yang dijalankan secara personal kelihatannya senantiasa mampu memberi andil. Apalagi jika hal-hal kecil selanjutnya dijalankan secara berkesinambungan dan disebarluaskan secara massif di awali berasal dari lingkungan paling dekat kita, layaknya di keluarga, di daerah kerja, bahkan di kampus, layaknya yang dijalankan oleh keempat dosen dan mahasiswa di atas tadi.
Perguruan Tinggi sebagai agen perubahan kudu mampu mengambil alih peran-peran dalam pencapaian SDGs. Melaksanakan tri dharma perguruan tinggi bersama dengan menjadikan SDGs sebagai acuan adalah hal perlu yang kudu dilakukan. Namun, hal ini memerlukan banyak penyesuaian dan kudu dijalankan secara perlahan. Untuk menegaskan keterlibatan perguruan tinggi dalam hal ini mampu di awali bersama dengan hal sederhana, yakni menegaskan rutinitas baik keempat dosen dan mahasiswa di atas mampu dijalankan secara simultan dan diikuti oleh segenap civitas akademik di kampus.
Akan tersedia berapa banyak pohon yang terselematkan sebagai tidak benar satu bentuk pencapaian obyek pilar pembangunan lingkungan bersama dengan kurangi penggunaan kertas, baik untuk administrasi, urusan tugas dan skripsi mahasiswa di kampus? Atau jika penggunaan kertas tidak terhindarkan kudu melacak cara daur lagi kertas dan memanfaatkannya kembali.
Kampus memberi tambahan bantuan bagi rutinitas baik dosen yang sering menggunakan sepeda mengajar, layaknya sediakan akses jalur bagi pesepeda atau menghijaukan kampus. Hal ini mampu menopang tercapainya pilar pembangunan ekonomi dan pembangunan sosial secara berkesinambungan.
Menyediakan daerah pengisian lagi air yang berkualitas mampu terlalu mampu menopang mahasiswa yang sehari-hari mempunyai wadah air sendiri. Selain kurangi sampah plastik, Kedatangan daerah pengisian lagi air mampu memberi tambahan jaminan kehidupan sehat bagi mahasiswa sebagai anggota berasal dari obyek pilar pembangunan sosial. Kondisi ini termasuk sekaligus sebagai bentuk sokongan tercapainya pilar pembangunan ekonomi bersama dengan menghadirkan prasarana yang lebih memadai.
Sebagai penyelenggara pendidikan, perguruan tinggi selayaknya mampu sediakan akses bahan pangan baik untuk dikonsumsi oleh mahasiswa. Memastikan penjaja makanan dan minuman yang tersedia di kampus menjajakan makanan bersama dengan gizi baik dan tidak lagi menggunakan kemasan sekali menggunakan perlu untuk dilakukan. Karena perguruan tinggi mampu terlibat dalam pencapaian SDGs terhadap pilar pembangunan sosial, lingkungan, dan ekonomi.
Seluruh program yang dicanangkan perguruan tinggi slot gacor hari ini tentu tidak dapat terlepas berasal dari obyek pembangunan hukum dan tata kelola yang baik.
Jadi bagaimana cara memulainya? Mari kami mulai bersama dengan mobilisasi aktivitas baik bagi diri sendiri dan secara perlahan mengajak orang paling dekat kami untuk ikut melakukannya. Perguruan tinggi sebagai tidak benar satu pemangku kepentingan memiliki keharusan untuk menopang rutinitas baik itu.